Sabtu, 27 November 2010

Gunung Batur


Gunung Batur (8 derajat 14'30"Lintang selatan,115derajat 22'30"Bujur timur),yang terletak di Kintamani, merupakan gunung api yang masih aktif. Kaldera Batur berbentuk elip dengan sumbu panjang 13,8km dan lebar 10km (kaldera I) dan kaldera lainnya terletak didalamnya berbentuk melingkar dengan garis tengah 7,5km (kaldera II).Kaldera I terbentuk 29.300 tahun yang lalu, sedangkan kaldera II terbentuk 20.150 tahun yang lalu.

Sejak tahun 1800 Gunung Batur sudah meletus sekurang-kurangnya 24 kali. Letusan pertama tercatat tahun 1804, terakhir terjadi bulan juli 2000, dan letusan dengan leleran lava terbanyak tahun 1963, dengan 3 titik leleran. Letusan dasyat dari Gunung Batur ini pertama kali tejadi 29.300 tahun yang lalu, yang menyisakan Gunung Abang (2152m)sebagai sisa kerucut Gunung Api Batur Purba. Letusan besar kedua terjadi 20.150 tahun yang lalu, diikuti dengan pembentukan beberapa krucut dan kubah, seperti Gunung Payang dan Gunung Bumbulan.Amblas ke dua kali membentuk kaldera II dimana kerucut kedua gunung ini (Gunung Payang dan Bumbulan) ikut amblas sampai separonya. Amblas II kalinya kaldera I membentuk undak Kintamani di sebelah barat dan barat laut di dalam kaldera. Kegiatan purna kaldera diawali sekitar 5000 tahun lalu, ditandai pertumbuhan kerucut Gunung Batur hingga kini.

Kegiatan pemantauan aktivitas Gunung Batur dilakukan dari pos Pengamatan yang terletak di kawasan hutan Penelokan, Kecamatan Kintamani, Bangli. Pemantauan dilakukan dengan pengamatan visual dan seismic. Seismograf yang dipasang bersistem pancar radio (radio-teleseismograph) dengan sebuah piranti penangkap gempanya (seismometer) diletakan dilereng sebelah tubuh gunung Batur pada ketinggian kurang lebih 1.350m.

Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam, Gunung Batur tegak menjulang, serta danau Batur teduh membiru merupakan suatu daya tarik bagi wisatawan. Pemandangan yang sangat menarik dari penampakkan seluruh gunung batur beserta danaunya dapat dilihat dari tempat ketinggian dari Penelokan.

Wisata mendaki Gunung Batur untuk melihat matahari terbit (sunrise) dari puncak gunung dengan ketinggian 1.717m di atas permukaan laut (atau 686m dari permukaan danau Batur) ini merupakan kegiatan yang menarik bagi wisatawan yang suka pada alam serta kegiatan petualangan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pemandu khusus yang menangani pendakian yang sudah dapat pembinaan secara menyeluruh dari instansi terkait, serta telah mendapat sertifikat khusus pendakian dari Disparda Bali pada tahun 2003.

Warung-warung kecil menjual minuman serta makanan tersedia di sepanjang jalur pendakian bahkan hamper sampai ke puncak gunung. Oleh sebab itu para pendaki tidak perlu membawa makanan atau minuman dalam jumlah yang banyak, karena mereka bisa membelinya di sepanjang jalur pendakian.

Wisatawan yang mendaki bisa langsung datang dari seperti Denpasar, atau menginap di penginapan yang ada di sekitar Penelokan atau Toya Bungkah. Wisatawan yang habis mendaki dapat menikmati hidangan dengan berbagai menu di rumah makan dan restaurant atau membeli makanan dan minuman di warung-warung yang banyak tersebar di sekitar Toya Bungkah.

Sumber-sumber yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar Kesuma Dewa, Lontar Usana Bali, dan Lontar Raja Purana Batur. Isi Lontar Usana Bali tersebut antara lain menyebutkan: adalah ceritera terjadi pada bulan Marga Sari (bulan ke-5) waktu Kresna Paksa(tilem) tersebutlah Betara Pasupati di India sedang memindahkan Puncak Gunung Mahameru di bagi menjadi dua, di pegang dengan tangan kiri dan kanan lalu di bawa ke Bali di gunakan sebagai sthana putra baliau, yaitu Betara Putranjaya (Hyang Maha Dewa) serta Betari Danuh, keduanya itulah sebagai ulunya Pulau Bali.

Untuk mencapai obyek wisata Batur dari Denpasar, wisatawan menempuh jarak 65km, dan dari kota Bangli 23km. setelah sampai disekitar Penelokan, wisatawan lalu turun ke lokasi pendakian yang dapat di tempuh dalam waktu sekitar 20menit.

Obyek wisata Batur dapat di capai dengan kendaraan bermotor. Obyek ini terletak pada jalan yang menghubungi kota Bangli dengan kota Singaraja. Sedangkan dari segi rute obyek, obyek wisata kawasan Batur menghubungkan obyek wisata Tampaksiring dan Besakih.

Selasa, 16 November 2010

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Umat Hindu Di Bali



Hari Raya suci Umat Hindu yang umum dirayakan adalah : Nyepi, Galungan, piodalan, Sarasvati puja, Sivaratri puja dan sebagainya. Diantara pelaksanaan hari raya suci tersebut yang paling menonjol adalah hari raya Nyepi jatuhnya dalam periode waktu satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada saat ini matahari menuju garis lintang utara, saat Uttarayana yang disebut juga Devayana yakni waktu yang baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehari sebelum perayaan hari raya Nyepi dilengkapi dengan upacara Tawur (Bhuta Yajna) yaitu hari Tilem Chaitra dengan ketentuannya dari lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang menyatakan apabila melaksanakan tawur hendaknya jangan mencari hari lain selain Tilem bulan Chaitra.

Rangkaian perayaan hari raya Nyepi dimulai dengan acara Melasti, kemudian sehari sebelum hari raya Nyepi dilangsungkan upacara Bhuta Yajna, dan sebagai hari penutup dilaksanakan Ngembak Agni sehari setelah hari raya Nyepi. Keseluruhan kegiatan ini dipusatkan di Pura Desa Puseh, dihadapan Tuhan Purusa atau Sri Visnu, dan Deva Brahma. Sebagai penyembah dalam kesadaran Krsna atas karunia sang guru kerohanian kita diberi penglihatan rohani dapat melihat pemandangan secara terang betapa agungnya kemulyaan Sri Visnu dengan nama lain Yajnapati, Tuhan penikmat dan tujuan akhir dari segala kurban suci bagi seluruh penghuni alam jagat raya.

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Umat Hindu Di Bali Upacara Melasti

Sebelum pelaksanaan Melasti, semua para deva (arca atau pratima) dari setiap pura dalam wilayah lingkungan kota atau desa diiring berkumpul di Pura Desa Puseh. Para deva satu-persatu berdatangan setelah lebih terdahulu bersujud menghadap Meru, Sri Visnu, kemudian distanakan berdampingan satu sama lain dalam satu bangunan memanjang yang disebut sebagai Balai Panjang atau Balai Agung. Keesokan harinya upacara Melasti dilangsungkan, Tuhan Sri Visnu dan para deva diiringi bersama-sama menuju laut atau ke mata air terdekat yang dianggap suci tergantung daerah masing-masing. Upacara Melasti tidak lain adalah upacara penyucian, prayascita. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan : “Untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dari keterikatan dunia material,” sedangkan lontar Sundarigama menyatakan; “Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah-tengah lautan.” Air suci ini berasal dari muara sungai-sungai suci di India khususnya sungai Gangga.

Dalam Srimad Bhagavatam skanda sembilan disebutkan Raja Bhagiratha melakukan pertapaan agar air Gangga turun ke bumi, kemudian memohon kepada ibu Gangga membebaskan leluhurnya. Ibu Gangga tersembur dari kaki padma Tuhan Sri Visnu, Beliau dapat membebaskan seseorang dari ikatan material. Nampak nyata bahwa siapapun yang secara teratur menyembah Ibu Gangga semata-mata dengan mandi di airnya dapat memelihara kesehatan dengan sangat baik dan perlahan-lahan menjadi penyembah Tuhan. Mandi air Gangga dipermaklumkan dalam semua susastra Veda, dan orang yang mengambil manfaat tentu sepenuhnya dibebaskan dari reaksi dosa.

Seusai acara Melasti, pada suatu daerah desa tertentu sebelum Sri Visnu dan para deva menuju Pura Desa Puseh terlebih dahulu diiring (dituntun) ke pasar mengikuti acara mepasaran di hadapan Pura Melanting dimana berstana Devi Sri, Devi Laksmi, Devi Keberuntungan. Sekembalinya para deva dari acara mepasaran setelah terlebih dahulu menghadap Sri Visnu, akhirnya para deva berstana di Balai Agung. Sementara Sri Visnu berstana di Meru dan Deva Brahma berstana pada bangunan Gedong di sebelah Meru. Acara berstana ini disebut Nyejer dan berlangsung sampai selesai acara Bhuta Yajna, sehari menjelang hari raya Nyepi, pada sore hari.

Selama beberapa hari seluruh warga dan adat setempat melakukan puja, mempersembahkan sesajen atau persembahan yang disebut prani. Pada saat ini pula umat memohon tirta Amrta air suci kehidupan untuk kesejahteraan dirinya, semua makhluk, dan alam semesta. Melalui acara Nyejer terkandung pula permohonan umat kepada Sri Visnu dan para deva untuk menyaksikan upacara Bhuta Yajna yang dilakukan oleh umatnya.

Upacara Bhuta Yajna

Sehari sebelum hari raya Nyepi adalah hari terakhir dari serangkaian upacara di Pura Desa Puseh tersebut, tepatnya pada hari Tilem Chaitra (Kesanga) dilangsungkan upacara Bhuta Yajna yang dikenal dengan Pengerupukan yang bertujuan untuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sri Visnu, manusia dengan sesama makhluk ciptaan-Nya serta manusia dengan alam lingkungan tempatnya hidup.

Dalam Bhagawadgita 4.8 Sri Krsna bersabda : Paritranaya sadhunam vinasaya ca duksrtam dharma-samsthapanarthaya sambhavami yuge yuge.

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Umat Hindu Di Bali Untuk menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma. Aku sendiri muncul pada setiap zaman.

Tentang Bhuta Yajna ini di dalam Agastya Parwa dinyatakan Bhuta Yajna adalah Tawur untuk kesejahteraan makhluk. Dalam hubungannya dengan hari raya Nyepi, wujud upacara Bhuta Yajna lebih dikenal Tawur Kesanga yang dilihat dari tingkat penyelenggaraannya dari tingkat yang paling besar : seratus tahun sekali disebut Ekadasa Rudra, setiap sepuluh tahun disebut Panca Wali Krama dan setiap tahun sekali disebut Tawur Kesanga.

Upacara Hari Raya Nyepi

Menurut keputusan Seminar Kesatuan Tapsir terhadap Aspek-spek Agama Hindu tentang Hari Raya Nyepi (1988) bahwa Pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Indonesia, pada hakekatnya merupakan penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), sivam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan).

Sesuai dengan hakekat Hari Raya Nyepi di atas maka umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut didukung dengan Catur Brata Nyepi sebagai berikut : (1). Amati Agni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu, (2). Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani, (3). Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan mawas diri, (4). Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi. Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabata” yaitu fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24) jam.

Upacara Ngembak Agni

Hari Ngembak Agni jatuh setelah Hari Raya Nyepi sebagai hari berakhirnya brata Nyepi. Hari ini dapat dipergunakan melaksanakan dharma shanti baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat.

Dharma shanti dalam lingkungan keluarga dapat dilakukan berupa kunjung mengunjungi dalam kelurga dalam usaha menyampaikan ucapan selamat tahun baru terbinanya kerukunan dan perdamaian. Sedangkan dharma santi di lingkungan masyarakat hendaknya dilakukan dengan dharma wecana, dharma gita (lagu-lagu keagamaan/kidung kekawin pembacaan sloka), dharma tula (diskusi), persembahyangan, pentas seni yang bernafaskan keagamaan serta memberikan “punia” atau berdarma sosial kepada yang patut menerimanya.