Kamis, 07 April 2011

Pura Silayukti





Mpu Kuturan tokoh spiritual Hindu di abad ke-11 Masehi adalah salah seorang tokoh yang berbuat dengan landasan niskama karma. Artinya, berbuat tanpa pamerih akan hasilnya. Hal ini dilakukan karena Mpu Kuturan sudah sangat yakin akan ajaran Hukum Karma. Setiap perbuatan baik sudah dapat dipastikan akan membuahkan hasil yang baik. Karena itu, Mpu Kuturan hanya berkonsentrasi pada berbuat baik dan benar untuk kepentingan umat manusia dalam artian yang seluas-luasnya.

Berbuat baik dan benar itu dilakukan karena keyakinan Mpu Kuturan sudah demikian disinari oleh api ilmu pengetahuan yang telah beliau capai. Mpu Kuturan tidak kawin karena beliau menempuh hidup Sukla Brahmacari. Jadinya semua umat manusia itu dianggap sebagai saudaranya. Inilah sesungguhnya perilaku seorang yang tepat disebut Pandita.

Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi.

Mpu Rajakerta pada awalnya sebagai kesatria karena menjabat Senapati Kuturan. Setelah selesai menjabat Senapati Kuturan barulah beliau sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali dengan gelar sebagai Mpu. Selanjutnya lebih populer dengan sebutan atau abhiseka nama Mpu Kuturan dengan asrama di Pura Silayukti.

Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan. Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti.

Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah. Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga, cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di mana akan kelihatan laut yang membiru.

Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat spiritual.

Mpu Kuturan adalah salah seorang dari lima orang suci yang berjasa menata kehidupan keagamaan Hindu di Bali. Lima orang suci yang bersaudara itu disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha. Beliau itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Yang paling banyak berjasa menata kehidupan sosial religius Hindu di Bali adalah Mpu Kuturan. Hal ini dinyatakan dalam berbagai pustaka kuna yang ditulis dalam daun lontar.

Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Kusuma Dewa juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.

Dalam lontar yang berjudul ''Mpu Kuturan'' juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Penataan Pura Besakih lebih lanjut juga dilakukan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa beliau itu Mpu Kuturan distanakan di Meru Tumpang Sembilan di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan ini termasuk kompleks Pura Besakih.

Menurut Lontar Babad Bendesa Mas dan Lontar Kusuma Dewa, antara Pura Kentel Gumi, Pura Dasar di Gelgel dan Pura Goa Lawah yang mempunyai hubungan historis juga sama-sama didirikan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa-jasa beliau itu di berapa Pura Kahyangan Jagat, Mpu Kuturan dimuliakan dalam Pelinggih Manjangan Saluwang. Demikian hampir di setiap pemujaan keluarga Hindu di Bali yang disebut Sanggah Gede atau Merajan Agung, Mpu Kuturan juga dimuliakan di Pelinggih Manjangan Saluwang.

Jadinya Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menata kehidupan manusia dan alam Bali berdasarkan ajaran Hindu. Hal inilah menyebabkan Bali sampai mendapat julukan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Kalau kita perhatikan Mpu Kuturan bukan milik suatu wangsa atau warga tertentu.

Yang patut kita renungkan lebih dalam tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sebagai pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti bukan untuk menyatukan adanya sekte-sekte Hindu yang bermusuhan. Para guru besar yang ahli ilmu purbakala di Bali yang pernah saya tanyakan menyatakan bahwa tidak ada catatan sejarah bahwa sekte-sekte Hindu di Bali pernah bermusuhan, apalagi berperang.

Tujuan Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti adalah untuk menguatkan umat dalam melakukan upaya Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya giat menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Stithi artinya dengan sungguh-sungguh memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi.

Pralina maksudnya meniadakan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Pralina bukan berarti merusak. Misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk, apalagi saat merayakan hari raya keagamaan. Misalnya menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dengan cara-cara yang baik, wajar dan benar. Itu juga tergolong kegiatan hidup yang termasuk pralima. Melakukan upaya Upati, Stithi dan Pralina tidaklah segampang teorinya. Melakukan hal itu perlu ada tuntutan Tuhan melalui pemujaan Dewa Tri Murti di Kahyangan Tiga.

* I Ketut Gobyah

sumber: BaliPost

Pura Luhur Batukaru


PURA Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mega Dewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan memfungsikan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh arti sebutan Tuhan itu adalah Tuhan sebagai yang menumbuhkan.

Pura Luhur Batukaru terletak di desa Wongaya Gede, kecamatan Penebel, kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.

Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang di Pura Luhur Batukaru mendapat sukses. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru.

Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala dan niskala atau lahir batin sebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani dan rohani.

Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan.

Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan jagat untuk memotivasi umat menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti. Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumber-sumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut.

Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak ada lagi musuh yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan perluasan ke Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura tersebut diobrak-abriknya.

Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah dari mana asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu. Ki Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal onggokan berupa puing-puing saja.

Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Sampai sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya.

Sumber : balipost.co.id dan sumber lainnya

Pura Rambut Siwi


Rambutsiwi sebagai obyek wisata, merupakan lingkungan suatu pura yang bernama Pura Rambutsiwi, yang dikelilingi oleh sawah yang membentang luas dan berteras-teras, di sebelah Selatan adalah gundukan tebing dan batu karang yang curam. Selain dikelilingi sawah yang berteras-teras di kejauhan di sebelah Utara kelihatan gugusan pedesaan dan deretan pegunungan yang membujur dari barat ke timur, serta Samudera Indonesia di sebelah Selatan. Di sebelah barat-daya pura terdapat balai tempat istirahat untuk menikmati keindahan panorama laut dengan disertai deburan suara ombak yang cukup mengasikkan. Tidak jauh dari balai tempat istirahat tadi yaitu sebelah Selatan Pura terdapat undag-undag yang curam untuk jalan turun ke pantai. Di pinggir pantai pada tebing batu karang ada dua buah goa yang dianggap suci dan kramat. Suasana di tempat ini sangat tenang sekali dan baik untuk menenangkan pikiran. Di sebelah Timur goa tersebut terletak Pura Rambut Siwi. Menurut tradisi di tempat ini Dang Hyang Nirartha tiba pertama kali.
Lokasi
Pura Rambut Siwi terletak di pinggir pantai Selatan Pulau Bali bagian Barat yaitu di Desa Yeh Embang Kangin, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Di sebelah Utara pura lebih kurang 200 meter, terbentang jalan raya jurusan Denpasar-Gilimanuk dimana terdapat penyawangan Pura Rambut Siwi. Di sini biasanya umat Hindu yang melintasi jalur perjalanan tersebut berhenti sejenak untuk menghaturkan sembah mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jarak dari kota Denpasar lebih kurang 78 km, perjalanan ke sana dapat dicapai dengan mobil atau sepeda motor. Dapat juga ke sana dengan menumpang kendaraan umum yang cukup banyak lalu lalang dari pagi hingga petang, karena itu tidak ada masalah sama sekali mengenai transportasi. Jika pengunjung menggunakan kendaraan bermotor, kendaraan tersebut bisa langsung diparkir di dekat (sebelah timur) pura. Lama perjalanan dari kota Denpasar sekitar 2 jam, dan dalam perjalanan banyak melalui jalan yang berkelok-kelok, menanjak naik-turun, sehingga banyak menyaksikan keindahan alam sepanjang perjalanan.
Fasilitas
Rambutsiwi telah didukung dengan sarana dan prasarana, seperti sudah tersedianya tempat parkir, toilet umum, wantilan dan bangunan sasana budaya untuk tempat pertemuan. Di pinggir jalan raya di sebelah Utara terdapat warung-warung yang menjual makanan dan minuman. Di sekitar lingkungan pura (terutama di sebelah timur dan Barat) ada tempat-tempat istirahat untuk sementara melepaskan lelah sambil melihat-lihat keindahan alam sekitarnya. Disamping itu terdapat pula di sana pameran lukisan maupun barang-barang souvenir lainnya yang dipajang setiap harinya.
Kunjungan
Rambutsiwi sering mendapat kunjungan para wisatawan, baik nusantara aupun mancanegara. Waktu kunjungan yang paling baik adalah pada sore hari sebelum matahari terbenam. Umumnya wisatawan ramai berkunjung ke sana pada hari-hari libur, hari raya dan hari piodalannya. Hari piodalannya jatuh pada hari Rabu Umanis Wuku Prangbangkat tiap 210 hari sekali, banyak umat Hindu Bali berdatangan untuk bersembahyang sambil membawa sesajen, memohon keselamatan dan kebahagiaan.
Deskripsi
Penamaan Pura Rambut Siwi erat hubungannya dengan perjalanan suci (dharma yatra) Dang Hyang Nirartha di Bali pada abad XVI. Beliau menyerahkan rambutnya untuk dipuja oleh masyarakat, sehingga pura itu bernama Rambut Siwi (memuja rambut). Dengan demikian pura ini sudah ada sejak abad XVI. Jika kita perhatikan struktur pura ini, tidaklah menyimpang dari struktur pura pada umumnya di Bali. Halaman pura terbagi atas tiga halaman. Pembagian tiga halaman mungkin dapat dihubungkan dengan pembagian dunia atas tiga bagian yang disebut Tri Loka, yaitu Bhur Loka (alam bawah), Bhwah Loka (alam tengah), dan Swah Loka (alam atas). Halaman tersuci adalah halaman dalam, dan palinggih pokok terletak di halaman dalam. Palinggih pokok di pura ini adalah bangunan suci meru tumpang tiga yang terletak di bagian Timur menghadap ke Barat. Bangunan suci meru itulah sebagai tempat pemujaan Bathara Sakthi Wawu Rauh/Dang Hyang Nirarta. Dalam babad Dwi Jendra Tatwa disebutkan bahwa di Pura Rambut Siwi dipuja secara simbol rambut dari Dang Hyang Nirartha. Selain pemujaan rambut, secara simbol pada masa Indonesia Kuna diketahui pula adanya kebiasaan memuliakan telapak kaki. Prasasti Ciaruteun di Jawa Barat yang berasal dari abad V menyebutkan adanya bekas dua telapak kaki raja Purnawarman yang disamakan dengan telapak kaki Dewa Wisnu. Demikian pula peninggalan purbakala berupa pahatan sepasang alas kaki raja Purnawarman yang disamakan dengan telapak kaki Dewa Wisnu. Demikian pula peninggalan purbakala berupa pahatan sepasang alas kaki di Pura Bukit Dharma Kutri Gianyar diperkirakan sebagai suatu simbol bahwa raja Marakata memerintah atas nama Airlangga di Jawa Timur. Pengatasnamaan pemerintahan Airlangga oleh adiknya Marakata itulah yang dikaitkan dengan adanya pahatan alas kaki tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telapak kaki adalah simbol kekuasaan seorang raja, sedangkan pemujaan rambut mungkin dapat dihubungkan dengan simbol kesaktian dan kebesaran seorang pendeta di bidang agama, dalam hal ini adalah Dang Hyang Nirartha. Apabila anggapan itu benar, maka fungsi Pura Rambut Siwi selain sebagai tempat untuk memuja Tuhan, juga sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran dan kesaktian Dang Hyang Nirartha. Berdasarkan fungsinya tersebut maka pura ini tergolong sebagai pura yang mempunyai status sebagai seorang Dang Kahyangan. Perlu juga dikemukakan bahwa di dalam meru tumpang tiga tersimpan empat buah arca, sebuah berwujud laki-laki, dan yang lainnya berwujud perempuan. Keempat arca tersebut diduga sebagai arca Dang Hyang Nirartha beserta istri dan kedua putrinya.

Pura Penataran Agung Ped


Pura Penataran Agung Ped, Nusa Penida
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu.
Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Penataran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja — Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Penataran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang ”Selayang Pandang Pura Ped” beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya. Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku ”Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped” yang ditulis
Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa. Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida
Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel
tersebut di Pura Dalem Nusa. Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. ”Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling,” katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya.
Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya.
Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.
Dikutip dari berbagai sumber.